Modul 1 – Pendahuluan (Introduction to Theology)
Sesi #4
Post Modern Epistemology
Memahami Perubahan Di Dalam Budaya Kita
“Stage of Truth”
Dalam bagian ini kita akan mempelajari hal yang sangat penting yang terjadi di dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu tentang “perubahan.” Perubahan ini berjalan demikian lambat sehingga kita tidak menyadarinya. Perubahan tentang bagaimana cara orang berpikir, menggunakan akal mereka di dalam menemukan sebuah kebenaran. Bagian ini memiliki tujuan khusus yang juga menjadi tujuan utama dalam modul pertama dari Program Pelatihan Teologi ini yaitu membangun “Stage of Truth,” (gambar 1)sebuah panggung yang menggambarkan bagaimana seseorang dapat sampai kepada sebuah kebenaran yang diyakininya.
Sejak dulu orang-orang peduli terhadap suatu kebenaran. Hanya saja di dalam sejarah kekristenan, kepedulian terhadap sebuah kebenaran mulai menjadi sangat penting pada sekitar abad ke-3, ketika dibutuhkannya sebuah kepastian terhadap mana yang yang benar saat terjadi perbedaan pandangan atas sebuah isu. Sebagai contoh, Arius memperdebatkan tentang keilahian Yesus, semenjak dikatakan di dalam kitab suci bahwa Yesus adalah Anak tunggal Allah. Dengan demikian, Arius berpendapat bahwa Yesus memiliki awal dan tidak seperti Allah Bapa yang tidak memiliki awal, jadi tidak setara dengan Allah. Paham ini dikenal dengan istilah Arianisme. Pertentangan terhadap pandangan ini muncul dari Athanasius yang mengatakan sebaliknya bahwa Yesus setara dengan Allah Bapa dan tidak memiliki awal. Perdebatan ini menjadi isu yang besar dan mempengaruhi pemikiran kekristenan mula-mula. Akibatnya memunculkan sebuah konsili gereja yang sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kepastian terhadap pertanyaan siapa yang benar dalam hal ini. Dan akhirnya lewat konsili yang dikenal dengan konsili Nicea inilah, pandangan Arius di tolak dan dianggap sesat, mendukung pandangan yang disampaikan oleh Athanasius.
Sejak awal, terdapat 3 unsur utama yang menjadi sumber bagi orang Kristen di dalam menentukan kepastian terhadap sebuah kebenaran: Alkitab, Akal Budi (reason) dan Tradisi (Gereja). Ketiga unsur ini saling bersaing di dalam menempatkan posisinya sebagai sumber yang paling terdepan di dalam menemukan sebuah kebenaran. Sejarah perdebatan antara Athanasius dengan Arius menempatkan Tradisi (Gereja) sebagai yang paling terdepan yang berhak menentukan sebuah kebenaran di samping Alkitab itu sendiri (Gambar 2). Akal budi tidak terlalu menentukan sebab kesulitan orang-orang pada waktu itu untuk memiliki Alkitab sendiri yang peredarannya sangat terbatas dengan Bahasa yang juga sulit untuk di mengerti. Lagipula tidak semua orang memiliki kepandaian intelektual yang sama. Pada saat ini, orang-orang memerlukan tradisi yang diwakili oleh gereja mula-mula dalam mengartikan Alkitab dengan benar.
Perkembangan sejarah menunjukkan terjadinya banyak kekeliruan yang di lakukan dalam tradisi gereja. Gereja berpendapat bahwa bumi adalah merupakan pusat dari tata surya, bumi tidak bundar melainkan datar dan lain sebagainya. Kemajuan ilmu pengetahuan membuktikan kesalahan-kesalahan pandangan tersebut sehingga kemudian menempatkan akal budi sebagai yang utama di dalam menemukan sebuah kebenaran. Gereja mulai kehilangan kepercayaan dari orang-orang dan mulai mengandalkan akal budi mereka. Ilustrasi berikut ini menggambarkan kondisi kemudian, dimana Akal budi menempatkan kedudukan yang terdepan, terutama pada saat jaman pencerahan, gereja kehilangan kepercayaannya dan kebenaran Alkitab pun mulai diragukan (Gambar-3).
Masa pencerahan atau era modern ini terus mendorong intelektualisme menjadi pegangan utama dalam perkembangan budaya manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mulai meragukan kisah-kisah yang dicatat di dalam Alkitab. Keraguan terhadap kisah penciptaan, air bah pada jaman Nuh, membuat Alkitab diragukan kebenarannya. Bagaimana ular bisa berbicara dan Nuh memasukan semua binatang ke dalam bahteranya? Akal budi kemudian menolak Alkitab sebagai suatu sumber kebenaran yang dapat di andalkan, hanya merupakan kitab yang baik yang isinya bercampur dengan mitos-mitos belaka.
Saat ini semua orang memiliki pengharapan terhadap suatu perubahan yang lebih baik lewat ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang demikian cepatnya. Televisi ditemukan, orang dapat mendarat di bulan, dan sebagainya. Jaman pencerahan ini juga memberikan dampak positif di dalam sejarah perkembangan kekristenan. Dengan ditemukannya alat cetak, orang-orang lebih mudah untuk mendapatkan Alkitab dan mempelajarinya. Pada masa ini, Martin Luther tampil sebagai tokoh reformasi yang menunjukkan pentingnya akal budi di dalam menemukan kebenaran-kebenaran Alkitab dan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang sudah sekian lama di pegang dalam tradisi gereja, khususnya berkaitan dengan surat pengampunan dosa (indulgences). Gerakan ini muncul dan dikenal dengan istilah Sola Scriptura, yaitu Alkitab sebagai otoritas yang tertinggi di dalam menentukan kebenaran dalam iman dan praktek kehidupan kekristenan dan Sola Fide, “dibenarkan oleh iman saja.” Disinilah mulai munculnya perpecahan gereja menjadi Kristen Protestan dan Katolik Roma yang memperdebatkan siapa yang memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kebenaran, Alkitab atau Gereja.
Jaman terus berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi yang tadinya memberikan pengharapan yang lebih baik terhadap kehidupan manusia berubah secara total. Perang dunia ke-1 dan ke-2 membuktikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah sesuatu yang selalu mendatangkan kebaikan. Pesawat ulang-alik Columbia yang mengantar orang ke luar angkasa meledak. Kegagalan dalam bidang teknologi terbukti. Demikian juga halnya dengan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lewat sejarah perang dunia ke-1 dan ke-2 ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa pada kehancuran kehidupan manusia.
Saat ini, tidak sedikit orang-orang yang kemudian menjadi kehilangan pegangannya, mereka menjadi apatis, tidak ada satu sumber kebenaran yang pasti. Inilah yang terjadi di jaman postmodern ini, orang-orang menganggap bahwa tidak ada kebenaran yang pasti. Kebenaran hanyalah merupakan sebuah pendapat yang sifatnya subyektif dan bersifat relatif. Stage of Truth menjadi kosong (Gambar-4), tidak ada sumber kebenaran yang dapat di andalkan.
“Memahami Perubahan di Dalam Budaya Kita”
APA ARTINYA EPISTEMOLOGY?
“Teori atau ilmu yang mempelajari metode atau dasar-dasar dari pengetahuan.”
– Webster’s Dictionary –
“Cabang dari filosofi yang berkaitan dengan teori dari pengetahuan. Sebuah penelitian kedalam hal-hal alamiah berkaitan dengan pengetahuan dan sumber pengetahuan, keterikatan dari pengetahuan dan pembenaran dari klaim-klaim pengetahuan.”
– Paul Feinberg –
ISTILAH-ISTILAH PENTING
Relativism :
Suatu keyakinan bahwa semua kebenaran adalah relatif, ditentukan oleh beberapa kelompok.
Subjectism :
Suatu keyakinan bahwa semua kebenaran adalah subyektif, ditentukan dari sudut pandang seseorang (individu).
Skeptism :
Suatu keyakinan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui dengan pasti.
Perspectivism :
Suatu keyakinan bahwa kebenaran ditemukan dalam penggabungan sudut pandang orang banyak.
Pragmatism :
Suatu keyakinan bahwa kebenaran adalah secara penuh ditentukan dengan keberhasilan untuk mencapai sebuah tujuan. “Yang akhir yang menentukan.” (end justifies the means).
Objectism :
Suatu keyakinan bahwa kebenaran adalah sebuah kenyataan yang objective (objective reality) yang hadir baik apakah seseorang mempercayainya ataupun tidak.
Apa yang dimaksud dengan Postmodernisme?
Kekristenan saat ini tidak dapat melakukan sesuatu seperti apa yang kita lakukan 20 tahun yang lalu. Saat itu orang-orang akan bergabung dengan Anda untuk mencari kebenaran yang sejati. Sekarang sudah berubah. Saat ini, sebelum kita membawa orang-orang kepada kebenaran Yesus Kristus, kita harus membawa mereka kepada kebenaran dari kebenaran itu sendiri. Cara berpikir yang sama (commond ground) harus diciptakan terlebih dahulu sebelum Injil dapat dinyatakan.
“Secara apologetika, pertanyaan yang muncul dalam konteks postmodern adalah sebagai berikut: Bagaimana kekristenan dapat mengklaim kebenaran diterima secara sungguh-sungguh ketika banyak tandingan dari kebenaran itu sebagai alternatif dan saat kebenaran itu sendiri telah menjadi sesuatu yang tidak bernilai. Tak seorangpun dapat mengatakan memiliki kebenaran. Hal itu adalah tergantung dari perspektif mana. Kesimpulan dari pemikiran ini adalah sederhana: Kebenarannya adalah tidak ada kebenaran.” (Aister McGrath)
Percakapan antara Protagoras dan Socrates (4 SM):
Protagoras | Kebenaran adalah relatif. Hanya masalah sebuah pendapat saja. |
Socrates | Maksud Anda kebenaran hanya merupakan sebuah opini subyektif? |
Protagoras | Tepat. Apa yang benar buat kamu adalah benar buat kamu dan apa yang benar buat saya adalah benar buat saya. |
Socrates | Apa Anda benar-benar yakin akan hal itu? Bahwa opini saya adalah benar hanya karena opini itu adalah opini saya? |
Protagoras | Saya yakin akan hal itu. |
Socrates | Opini saya adalah begini: kebenaran adalah absolut, bukan sekedar opini dan Anda, tuan Protagoras, sudah pasti salah. Karena ini adalah opini saya, Anda harus setuju dengan hal ini sesuai dengan filosofi Anda. |
Protagoras | Sesungguhnya Anda benar, tuan Socrates. |
Percakapan antara Socrates dan Protagoras di atas menunjukkan bahwa seringkali kita tidak menyadari ada pernyataan-pernyataan yang sesungguhnya membatalkan pernyataan itu sendiri untuk di pegang sebagai sebuah kebenaran (self-defeating statement).
Contoh lainnya adalah seperti berikut ini :
“Sedikitpun saya tidak dapat berbicara dalam bahasa Indonesia.” (bukankan ini Bahasa Indonesia?)
“Istriku belum pernah menikah.” (bagaimana dapat disebut istri jika belum menikah?)
“Kita tidak dapat mengetahui apapun tentang Allah.” (dibutuhkan pegetahuan dalam tingkatan tertentu untuk dapat sampai kepada kesimpulan ini!)
“Tidak ada kebenaran.” (berarti pernyataan inipun dengan sendirinya menjadi tidak benar!)
“Kebenaran tidak dapat diketahui dengan pasti.” (berarti pernyataan ini juga tidak pasti!)
Sejarah singkat dari budaya barat dapat dibagi ke dalam Tiga periode:
-
- Premodern (400-1600 M): pada jaman ini orang-orang lebih mudah untuk menerima kenyataan yang ada dan lebih mau mendengarkan pandangan seseorang.
- Modern (1600-1900 M): Pada jaman ini orang-orang lebih mengandalkan akal budinya dan perlu menunjukkan bukti-bukti yang kuat sebelum sampai kepada sebuah pendirian.
- Postmodern (1960-sekarang): Pada masa ini orang-orang telah kehilangan pegangan terhadap suatu kebenaran, lebih mengandalkan emosi dan perasaan. Tidak ada kebenaran yang pasti, semua bersifat subyektif dan relative.
Ciri-Ciri yang menggambarkan pola pikir antara Modernisme dengan Postmodernisme:
MODERNISME | POSTMODERNISME |
---|---|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Dalam film science-fiction Star Trek, ada 2 tokoh yang dapat menggambarkan kedua paham ini:
Spock yang mewakili paham moderenisme yang selalu berpikir secara logis dan objektif, tidak pernah berdasarkan perasaan (feeling) karena akan menjadi “illogical” (Tidak masuk akal) dan…
Data, robot yang mewakili “manusia postmodern” yang sempurna. Selain “kesempurnaannya” Data memiliki dorongan:
- Ingin menjadi manusia
- Menentang logika
- Mencoba mengembangkan emosi dan perasaan.
Di bawah ini merupakan ilustrasi yang mewakili karakteristik masing-masing :
- Premodern : “Ada bola dan ada goal dan saya menyebutnya sebagaimana adanya”. (Sikap yang lebih terbuka dan menerima informasi yang diberikan sebagai sebuah kebenaran.)
- Modern : “Ada bola dan ada goal dan saya menyebutnya saat saya melihatnya.” (Sikap yang lebih tertutup dan memerlukan sebuah bukti yang jelas untuk dapat menerima informasi yang diberikan sebagai sebuah kebenaran.)
- Postmoderen : “bola dan goal tidak ada artinya apa-apa sampai saya menyebutnya demikian.” (Sikap yang apatis, kebenaran dari sebuah informasi yang diberikan bergantung kepada perspektif masing-masing dan bersifat relatif, tergantung kepada siapa yang menerima dan menyimpulkannya.